Kamis, 22 April 2010

Surat ke-18 (Surat Cinta Terakhir)

Haii..saya Upin, dan ini adik saya Ipin.. lho-lho-lhoo..kenapa jadi itu? Aiihh.. sorry yak! Ehehehee.. Ok ok, langsung aja deh keintinya. Ini gan ane posting-in surat cinta lagi, tapi ni surat cinta beda dari edisi-edisi terdahulu. Kalo kemaren-kemarenkan rada komedian tuh! Nahh..kali ini tema kita ganti jadi metal (melankolis total), biar seimbang gan..

Oh iya, ini surat cinta bukan asli bikinan ane yak (sumber liat di akhir tulisan).
Oke deh! Langsung ke TKP aja gan! Eh tapi maaph juga yak! Rada panjang suratnya. Moga-moga aja betah bacanya yak ^_^


Surat ke-18 (Surat Cinta Terakhir)

Dear Cantik,
Ini adalah surat ke-18 yang aku kirim untukmu. Entahlah, apa kamu menghitungnya atau tidak? Namun, aku selalu berharap kamu membacanya, meskipun setelahnya, mungkin, surat-suratku itu kamu buang.

Tadi siang, aku melihat matamu sembab. Sinar matamu terlihat redup dan tidak lagi memancarkan gairah hidupmu yang membara. Senyummu pun tak banyak kau umbar. Senyum itu hanya muncul ketika kamu menatap wajah orang-orang yang menyapamu.

Aku sedih melihatmu seperti itu. Hatiku sakit. Otakku pun tak henti berpikir. Ada apa dengamu? Andai saja aku tahu masalahmu, aku pasti membantumu. Tidak peduli apa pun yang harus aku korbankan. Aku rela melakukannya. Namun itu semua sulit terjadi. Aku sama sekali tidak tahu masalah apa yang sedang kau hadapi kali ini. Kamu pun tak mungkin bercerita padaku, karena kamu tak tahu siapa aku sebenarnya.

Ya, kamu boleh sebut aku pengecut karena tak mau menampakkan batang hidungku dihadapanmu. Tapi, ada yang harus kamu ketahui. Aku seperti ini karena aku bukanlah laki-laki yang kau harapkan. Jika kita bertemu dan saling mengenal. Cepat atau lambat. Aku pasti akan mengecewakanmu. Aku juga tahu, surat-surat yang selalu aku kirim selama ini telah membuatmu mulai menyukaiku atau lebih tepatnya, menyukai tulisan dalam surat-suratku dan kamu mulai mencari tahu siapa aku.

Aku sangat mengenalmu, Cantik. Bahkan, aku lebih mengenalmu daripada aku mengenal diriku sendiri. Memang terdengar sedikit ekstrim, tapi itu semua benar karena aku begitu memujamu. Aku bukan hanya memujamu, melainkan juga menyayangimu. Menyayangimu melebihi aku menyayangi diriku sendiri. Karena itu, aku melakukan apa saja yang aku bisa lakukan untuk membantumu walau tanpa sepengetahuanmu.

Kamu memang tidak mengenalku meskipun aku sangat mengenalmu. Walaupun begitu, kita memiliki banyak kenangan yang mungkin tidak pernah dimiliki orang lain, selain kita berdua. Kamu ingat, ketika buku catatan berisi curahan hatimu yang sudah kamu isi sejak SMP terjatuh ke dalam selokan besar di belakang kampus? Saat itu, kamu hanya bisa menatap sedih dan berusaha menahan air mata yang hampir keluar dari matamu yang indah. Kamu langsung pulang ke rumah. Padahal masih ada satu mata kuliah yang harus kamu ikuti waktu itu.

Aku yang tidak tahan melihat kesedihan di wajahmu langsung membenamkan kakiku ke dalam selokan itu. Aku meraba-raba ke dalam dasarnya, berusaha mencari buku tebal berwarna hijau tua itu. Aku memang cukup lama berada di dalam selokan itu karena bukumu tak juga ditemukan. Beberapa orang yang melihatku mengira aku sedang depresi, tapi aku tidak peduli sama sekali. Kususuri selokan yang panjang itu tanpa menghiraukan pakaianku yang kotor karena air selokan yang bercampur dengan lumpur. Sampai akhirnya, dengan perjuangan yang cukup melelahkan, kutemukan buku kesayanganmu itu.

Di rumah, kukeringkan lembar demi lembar ratusan kertas bukumu menggunakan pengering rambut. Aku lakukan dengan hati-hati agar tidak robek. Butuh waktu berjam-jam untuk membuatnya benar-benar kering. Peluhku pun jatuh tak terelakan lagi, tapi aku benar-benar tulus melakukannya. Aku bahagia bisa melakukannya untukmu karena aku selalu ingin melakukan sesuatu yang berarti untukmu.

Keesokan harinya, tepat pukul enam lewat dua puluh menit, aku sudah sampai di depan rumahmu. Buku hijaumu kubungkus rapi dengan bungkus kado bercorak bunga Anggrek dan kurekatkan amplop kecil berisi kertas bertuliskan: “Untuk Reyna. Jangan ceroboh lagi!”.

Amplop itu kuletakkan di depan pintu rumahmu. Lalu, aku menekan bel rumahmu dan langsung berlari ke belakang pohon beringin yang ada di seberangnya. Beberapa detik kemudian, ibumu keluar dan mengambil bingkisan itu. Selang satu menit kemudian, aku mendengar sayup-sayup teriakan bahagiamu. Lega aku mendengarnya, hanya itu yang ingin kudengar darimu dan aku berhasil. Saat itu, aku terus mengucap syukur kepada Tuhan.

Cantik, seberapa besar masalahmu kali ini, tolong untuk selalu ingat pesanku yang pernah kutulis pada surat kesembilan: “Sempatkanlah untuk tertawa dalam satu hari meskipun cuma sedikit. Dengan demikian, energi positif akan mengalir dalam tubuhmu dan akan membuat jiwa dan pikiranmu lebih tenang. Kamu pun akan lebih siap mengatasi segala masalah dengan baik”. Aku masih ingat kejadian yang kau alami waktu itu. Dengan mata kepalamu sendiri, kamu melihat laki-laki yang sudah menjadi pacarmu selama satu setengah tahun merangkul mesra seorang wanita bertubuh tinggi, berhidung mancung. Saat itu, kamu menangis di pelukan sahabatmu. Aku pun berpikir, apa yang bisa aku lakukan untukmu?

Memperbaiki hubungan kalian yang sudah berantakan, jelas aku tidak bisa. Lagi pula, aku tidak rela kamu meneruskan hubungan dengan laki-laki berengsek seperti dia. Akhirnya, aku hanya fokus untuk menenangkan dirimu dulu, berusaha menghibur walau tidak secara langsung, agar kamu tidak terus larut dalam kesedihan. Kuputuskan untuk mengirimmu sepuluh buku kumpulan cerita lucu dari penulis dan penerbit yang berbeda, dengan ketebalan yang berbeda pula. Kukirimkan bersamaan dengan surat kesembilanku. Dan, aku berhasil lagi. Kulihat kamu membaca salah satu bukunya di sela-sela menunggu jam kuliah di kampus. Sesekali, kamu tertawa geli, bahkan tak jarang kamu pun sampai terpingkal-pingkal.

Berangsur-angsur, kesedihanmu pun hilang dan kamu berhasil melupakan laki-laki buaya itu. Oh ya! Selain itu, aku juga melakukan sesuatu yang aku sendiri tidak menduganya, tapi kamu jangan marah ya! Aku memberikan hadiah satu pukulan keras tepat di wajah laki-laki yang pernah kamu panggil “sayang” itu dan dia K.O dengan keadaan tulang hidung yang mungkin patah.

Di surat kedelapan belas ini, entah kenapa aku ingin menceritakan kenangan-kenangan lainnya yang mungkin tidak kamu sadari. Namun, aku tidak bisa menuliskan semuanya, karena aku sudah tidak seperti dulu. Tubuhku kini sudah lelah menopang segala keinginanku. Aku sakit. Beberapa organ tubuhku perlahan-lahan hancur digerogoti penyakit yang kuidap ini. Tadi siang, mungkin, adalah hari terakhir aku bisa menatap wajahmu –walau hanya dari balik jendela mobil yang kubuka setengah kacanya. Untung aku punya kakak perempuan yang baik, yang mau mengantarku melihat wajah cantikmu untuk kali terakhir.

Sekarang, kamu sedang membaca surat terakhirku yang diantar langsung oleh kakakku kepadamu. Kakakku pasti memberikan surat ini sambil menangis, kan? Ya, dia mirip seperti kamu, mudah mengeluarkan air mata. Cantik, terima kasih karena kamu mau mengikuti peraturannya untuk tidak membuka amplop berwarna merah muda sebelum kamu selesai membaca surat ini.

Kamu tidak mengenalku, tapi tenang saja, aku tidak akan setega itu membiarkanmu penasaran sepanjang hidupmu. Sekarang, silahkan kamu buka amplop warna merah jambu itu. Kamu akan tahu siapa aku, tapi kamu tidak akan bertemu dengan laki-laki di foto yang ada di dalam amplop itu. Kini, aku sudah pergi ke tempat di mana aku tidak akan pernah bisa mengirim surat cinta untukmu lagi. Di sana, aku hanya bisa melihatmu membaca surat ini dari alam yang tak terjamah.

Jangan menangis, Cantik! Aku tidak akan tenang melihatmu seperti ini. Yakinlah bahwa kelak kita akan bertemu walau hanya di alam keabadian dan saat itu kamu akan tersenyum untukku.


Your secret admirer.


Sekian gan! Makasih dah nyimak yak!
Sumber; Kepada Cinta: True Love Keeps No Secret (R. Intan Suci K, 2009: 143).