Rabu, 11 Maret 2009

Jalan Terbaik (mencoba mencerpen)

Hoihoiii…
Uh, awalnya mau nulis cerpen yang ringan-ringan tapi pas udah nulis jadi belok haluan gini.. rada melankolis nan plegmatis..
Maaph ya bos-bos.. kalo tulisan kali ini rada-rada sadis dan cadas jg..
Gue dapet ide cerpen ini dari salah satu dosen gue cuy..


Jalan Terbaik

Malam kian larut, bulan pun mulai terhalang oleh awan-awan yang berkeliaran disampingnya. Tiada bintang-bintang malam ini, bahkan salah satu bintang itu telah pergi untuk selama-lamanya. Ya, tepat seminggu yang lalu aku ditinggalkan nenekku tercinta. Beliau pergi dari dunia ini menuju akhirat yang kekal. Doaku mengiringinya hampir setiap hari. Dalam detik, menit, jam, dan hari-hari ketika beliau sakit tak hentinya ku berdoa. Satu doa yang ku panjatkan, semoga Tuhan memberikan yang terbaik untuknya. Maka Tuhan memperlihatkan kematiaanlah yang terbaik untuknya. Selamat jalan nenekku.

Tepat sepuluh hari sebelum wafatnya, nenekku selalu menyapa cucu-cucunya. Menemui mereka dengan hangat dan senyuman yang tak terlupakan. Tepat hari ini adalah hari dimana umat muslim sedunia merayakan hari kemenangan. Takbir berkumandang hampir dipelosok bumi. Idul Fitri kali ini merupakan Idul Fitri terakhirnya. Terakhir dimana aku mendengar suara doanya ketika ku cium tangannya. Terakhir dimana keluarga besar ini berkumpul dan berbagi rasa dengannya.

Senyumnya menghiasi hari-hari itu. Kami, para cucunya secara tak disengaja berkumpul membuat forum tersendiri dengan nenek, tanpa kehadiran orang tua kami yang merupakan anak-anaknya. Perkumpulan ini tanpa disengaja terbuat atau memang Tuhan kah yang telah mengaturnya? Sedih rasanya mengetahui bahwa disaat itulah waktu terakhir kami berkumpulnya.

Setelah lima hari berada di rumah untuk merayakan lebaran, aku akan kembali ke kota dimana aku menuntut ilmu. Setelah berpamitan dengan kedua orang tua ku tak lupa pula berpamitan dengan nenek. Ku cium tangannya dan terdengar suara seperti yang diucapkannya saat Idul Fitri lalu. Aku berlalu dari Jakarta menuju Bandung.

Kuat dalam ingatanku dua nasehat terbesarnya dalam hidupku. Jangan pernah berpaling dan mengecewakan orang tua dan selalu ingatlah perintah Tuhan-mu yang telah menciptakan orang tuamu.

Tak berapa lama berada di Bandung aku kembali ke Jakarta. Nenekku masuk rumah sakit. Berita itu sungguh mengagetkan, karena tak terbayang jika nenek akan jatuh sakit. Sebelum, saat, dan setelah Idul Fitri beliau masih terlihat bertenaga. Bahkan saat aku berpamitan. Namun inilah suratan takdir, tak bisa ditebak dengan akal.

Sesampainya di Jakarta aku langsung menuju rumah sakit. Orang tua, paman dan bibi ku semua ada disana. Ku lihat nenek berada dalam sebuah ruangan yang dipenuhi dengan alat-alat medis. Beberapa dokter dan perawat berada di dalamnya memeriksa dan memasangkan banyak alat bantu kehidupan di tubuh nenek. Tak lama kemudian sekelompok berbaju putih itu keluar. Satu dokter menemui orang tua ku. Entah apa yang mereka bicarakan.

Tuhan mendengar doaku untuk memberikan yang terbaik bagi nenek ku. Ternyata alat bantu kehidupan dokter itu dikalahkan oleh takdir Tuhan. Alat tersebut hanya bertahan tak lebih dari dua hari. Nenekku kini telah pergi menghadap Sang Pencipta.

Janganlah kau takut dengan kematian, karena sesungguhnya engkau pun belum hidup.


*jangan lupa comment cuy...

Tidak ada komentar: